Selasa, 22 Januari 2013

Bapontar


Perjalanan ke Sisa-sisa Kerajaan Manganitu
Iswan Sual, S.S[1]

Surya yang terang benderang menguasai pulau Sangihe. Sehingga walaupun waktu telah menunjukkan pukul 17.00 tetap saja kami (saya dan Deavid Mansauda) tak mau mengurungkan niat alias nekad untuk berkunjung ke Manganitu. Suatu kecamatan yang pernah menjadi sebuah kerajaan yang kejayaannya masih terkenang hingga kini. Ketertarikkanku melihat langsung situs kerajaan tersebut muncul tatkala saya dan Deavid, seorang pria berkebangsaan Sangihe yang adalah teman kuliahku dulu, berbincang hingga larut malam pada 18 Januari 2012. “Bagaimana kalau besok kita kesana, ke tempat di mana kerajaan Manganitu pernah berdiri itu?” kataku setelah kurang lebih sejam dia mengutarakan panjang lebar tentang keberadaan suatu kerajaan yang pernah dipimpin oleh Bataha Santiago[2] tersebut. Diapun tak menolak tawaran sekaligus tantangan yang aku berikan. Besoknya kami memutuskan pergi dengan mobil. Sebuah mobil sedan berwarna hijau lumut yang sudah tua namun masih memiliki tenaga luar biasa untuk memanjat jalanan dengan tanjakkan dan kelok-kelok yang panjang.
Tak sampai setengah jam kami sudah berada di bekas kerajaan Manganitu yang sudah berubah menjadi sebuah kecamatan besar dengan 18 desa. Begitu kami berada di pusatnya, kami melewati sebuah loji[3] yang pernah ditinggali oleh seorang misionaris Jerman bernama Steller[4]. Rumah itu tepat berhadapan langsung dengan lapangan besar. Di samping rumah itu berdiri kantor Kepolisian Resor Manganitu. Tak sampai lima menit dari situ, kami sudah menemukan beberapa buah rumah tua mewah dengan gaya arsitektur Eropa. Seperti model rumah-rumah tua peninggalan orang Eropa pada umumnya yang pula pernah aku lihat di Tomohon, Tondano dan Amurang. Yang menjadi tujuan kami adalah rumah tua yang besar dengan halaman yang luas. Nampak dari depan, ketika kami baru saja turun dari kendaraan, rumah itu sudah tak berpenghuni. Tapi ada sebuah rumah kecil berdiri di sampingnya. Kesanalah saya dituntun oleh teman saya. Begitu langkah kaki pertama menginjak lantai rumah, saya sedikit terkesima. Di hadapan saya berdiri satu keluarga berwajah Eropa. Seorang pria dewasa dan seorang gadis rupawan dengan tinggi tubuh di atas rata-rata orang Indonesia. Dan di kursi yang menghadap pintu, di situ duduk seorang wanita yang sudah uzur, berambut dan berkulit putih. Setelah beberapa menit berada dalam rumah kecil dengan dinding ada terpampang foto-foto jaman dulu, saya pun mendengar percakapan yang menggunakan bahasa Sangihe. Sangat kental. Dan lama kelamaan saya pun yakin bahwa keluarga ini adalah sepenuhnya orang Sangihe bukan orang Eropa.
Saya kemudian dipersilahkan oleh pria yang adalah anak dari wanita tua itu untuk mewawancarainya tentang hal ihkwal kerajaan Manganitu. Saya mulai dengan menanyainya tentang keluarga. Narasumber yang biasa disebut Oma Mawira (Bhs. Sangihe: Nenek Putih) ternyata adalah seorang kelahiran Manganitu, Sangihe pada 28 April 1922. Nenek yang sudah tak bisa melihat dan tak jelas pendengarannya itu bernama Adelle Pauline Macahecum[5]. Ayahnya adalah seorang Jogugu (setara dengan wakil bupati sekarang) dari Tuandatu (raja) ke-17 kerajaan Manganitu, W.M.P. Mocodompis[6]. Bungsu dari dua bersaudara lainnya, Viktor Y. Macahecum[7] dan Rosalin Adolfine Macahecum. Adelle Paulina Macahecum dinikahi oleh seorang Perancis kelahiran Solo bernama Gelaume Antoinette Renard Dupont dan dikaruniahi dua orang anak. Salah satunya seorang anak lelaki yang berjabat tangan dengan kami sewaktu kami tiba. Anak lainnya, perempuan, kini bermukim di Filipina.
Menurut penuturan narasumber, W.M.P. Mocodompis adalah anak dari raja Manuel Hariraya[8] (raja ke-16).  Dikatakannya juga bahwa W.M.P. Mocodompis adalah raja yang sangat dihormati dan ditaati. Kadangkala, kendati mereka tahu bahwa rumahnya kosong, warga tetap lewat di depan rumah dengan sikap penuh hormat. Rumah yang kini nampak memprihatinkan ini pernah dipugar oleh pemerintah pusat pada tahun 1990. Sayangnya, sejak saat itu tak pernah lagi tersentuh oleh pemugaran. Bahkan pemerintah daerah pun seperti pura-pura tidak tahu dengan adanya situs itu. Yang lebih parah lagi, catatan sejarah yang sudah dibuat dengan susah payah oleh keluarga yang menjaga situs ini tidak benar-benar diperhatikan oleh pemerintah. Hal ini terbukti dengan selalu datangnya pemerintah melalui pegawai instansi terkait untuk meminta catatan sekitar kerajaan Manganitu di era raja ke-17 itu. Padahal sudah berkali-kali diberikan. Rupanya semua yang pernah diberikan hanya menjadi milik pribadi pejabat yang berkuasa. Bukan menjadi milik pemerintah daerah sebagai institusi. Tidak ada upaya nyata dari pemerintah untuk mengabadikan tulisan-tulisan penting itu ke dalam sebuah buku atau semacamnya. Sama halnya dengan rumah peninggalan kerajaan Manganitu yang kian hari semakin parah keadaannya. Untunglah, ada beberapa orang penting seperti pensiunan ABRI dan turis, budayawan, sejarawan, wartawan serta cendekiawan (dari perguruan tinggi dalam dan luar negeri) yang datang untuk turut mendengar dan mengabadikan sejarah, situs serta saksi sejarah kerajaan Manganitu.
Pemerintah kurang perhatian…. Pagar harus dibenahi supaya mereka (pengunjung) yang masuk memperoleh karcis. Dengan demikian, hasil dari itu bisa menambah pendapatan daerah,” imbuh Oma yang masih lancar berbahasa Inggris dan Belanda itu sembari menyekakan tisu di sekitar pelupuk matanya. Dia juga menambahkan bahwa soal promosi, bukanlah tugas dirinya, melainkan tugas pemerintah.
Mungkin orang-orang bertanya-tanya mengapa sampai rumah raja itu kini dimiliki oleh keluarga Dupont-Macahecum. Kepemilikan rumah itu beralih ke mereka disebabkan oleh karena Wawutowo (putri raja), Yolanda W. Mocodompis[9], yang menikah dengan seorang Belanda bernama Prof. Mr. Paul Leonard Wehri tidak memiliki keturunan. Adelle Paulina Macahecum yang masih remaja ketika itu diangkat sebagai anak oleh Sang Putri. Segala kepunyaannya pun diserahkan kepadanya.
Saat diminta pesan narasumber bagi generasi muda sekarang, dia bertutur, “Saya berpesan kepada generasi muda agar tidak lupa menghormati perjuangan orangtua. Banyak orang muda tidak tahu tentang sejarah perjuangan orangtua dulu. Harus hidup rukun…. Adat Sangir harus dipertahankan. Biar sudah sekolah di luar tapi tidak boleh melupakan adat Sangihe.”
Ketika ditanya soal adat seperti apa yang harus dipertahankan, Oma Adelle mengatakan bahwa adat perkawinan dan saling menghormati harus dijaga. Penggunaan bahasa Sangihe juga harus halus. Sebagaimana mereka dulu dalam keluarga kerajaan harus menggunakan bahasa yang halus. Misalnya untuk kata makan, yang digunakan adalah kata simokol bukan kata-kata yang kurang santun seperti kumang, kahoaseng, meliwang dan mengepade. Begitupula dengan kata tidur. Mereka diharuskan menggunakan kata halus seperti mahedang bukan metiki yang kurang sopan.
Karena malam kian larut saya dan Deavid pun mohon pamit. Dengan harapan akan kembali lagi menjemput tulisan dan mendokumentasikan foto dan berkas bernilai lainnya. Walaupun terbilang singkat waktunya, muncul perasaan puas di hati kami. Sepanjang perjalanan pulang kami t


[1] Iswan Sual adalah seorang pemerhati budaya Sulawesi Utara kelahiran Tondei, Motoling, Minahasa Selatan, pada 12 April 1983. Bergerak dalam organisasi budaya bernama Sanggar “Tumondei” Minahasa Selatan (STMS) sebagai Tonaas Wangko (Ketua Umum). Telah menulis beberapa karya sastra  diantaranya; Tinondeian (Novel, 2012), Tetewatu (Kumpulan Cerpen, diterjemahkan ke Bahasa Perancis oleh Odile Loiret, 2013). Juga menjadi editor buku Sejarah Tondei karangan C. Bujung (2012).

[2] Santiago (Bataha Santiago) adalah raja ke-3 kerajaan Manganitu. Bertahta pada tahun 1670-1675. Ia adalah raja yang mengalahkan Belanda dengan gagah berani dalam perang Batumbakara di pantai Manganitu dengan menenggelamkan kapal-kapal perang Belanda. Tapi kemudian ia ditangkap dan dihukum gantung (versi lain: dipancung) di Tanjung Tahuna tahun 1675. Oleh pemerintah Indonesia ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan namanya diabadikan pada Korem 131 Santiago.

[3] Loji adalah rumah panggung besar khas Minahasa yang telah mendapat sentuhan gaya Eropa yang banyak dibuat di jaman Belanda. Sampai sekarang masih terdapat banyak loji di tanah Minahasa dan Sangihe.

[4] Steller, missionaris Zending Grossnas Jerman, bernama lengkap E.T. Steller mengabdi selama 40 tahun  di Sangihe. Sejak 25 Juni 1857 hingga 3 Januari 1897. Dia banyak menerima anak pribumi dalam rumahnya untuk dilatih dan diajar berbagai kemahiran kerja, seperti perbengkelan mesin, bercocok tanam dalam teknik modern, arsitektur, ilmu perawatan, dan guru. Di kemudian hari usahanya digantikan oleh anaknya yang bernama Mr. K.G.K. Steller. E.T. Steller dikuburkan di Manganitu, Sangihe, di samping makam istrinya. Sejak datang pertama ia tak lagi melihat negerinya. Ia menganggap Sangihe sebagai tanah airnya yang baru.

[5] Adelle Paulina Macahecum pernah mengenyam pendidikan di HIS Tahuna dan Mulo Tomohon. Pada tahun 1950 bekerja di Makassar  dan kemudian menjadi kepala sekolah di Sekolah Kepandaian Putri di Tamako. Dia turut dipenjara oleh Jepang karena kedekatan dengan keluarga kerajaan dan diduga orang Belanda karena berkulit putih. Neneknya, Belina, adalah saudara perempuan dari W.M.P. Mocodompis (Raja ke-17 kerajaan Manganitu).

[6] Raja W.M.P. Mocodompis adalah raja ke-17 (raja terakhir) kerajaan Manganitu. Dia ditangkap dan hendak dipancung karena diduga memata-matai Jepang. Tapi karena kebal senjata tajam dia kemudian dikubur hidup-hidup oleh pemerintah Jepang bersama ayah dari Adelle Paulina Macahecum. Sepeninggal raja, rumah dan isinya diserahkan kepada pemerintah (camat pada waktu itu bermarga Tiwa. Berasal dari Motoling, Minahasa Selatan) untuk dijaga. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Nyaris seisi rumah diambil dan ditelantarkan. Sang Boki  (permaisuri) pun, Louisa Ella Kansil, ditinggal begitu saja di rumah.

[7] Viktor Y. Macahecum adalah seorang Hakim pertama di Sangihe. Di jamannya dia mendapatkan pekerjaan karena menunjukkan slagbom (silsilah keluarga) dimana umumnya pada waktu itu dijadikan sebagai bukti bahwa seseorang berasal dari keluarga baik-baik.

[8] Manuel Hariraya adalah raja ke-16 kerajaan Manganitu. Dia memiliki tiga orang anak yang bernama Belina, Elizabet, dan W.M.P. Mocodompis.

[9] Yolanda W. Mocodompis pernah memberikan kursus ilmu hukum kepada seorang yang bermarga Pondaag. Kelak dia menjadi seorang notaris yang cukup dikenal. Meskipun telah menikah dengan seorang Belanda tapi Yolanda W. Mokodompis tidak mengubah kewarganegaraannya.

Jumat, 02 November 2012

Kumpulan Puisi Engrike Keintjem


Uang

[EngrikeKeintjem]

Saata kuingin berbelanja
Kaulah yang selalukuberi
Kausangatbergunabagi kami
                Uang,
                Kauselaluada di mana-mana
                Bahkan di dompetayahku
                Kaujugaada
Uang,
Kaulahsumberkebutuhan kami…
Semua orang bekerjakeras
Hanyauntukmendapatkan
Engkau…
                Uang,
                Tapikadangkau yang menjadi
                Sumbermasalahbagi kami
                Banyak orang yang selalusalah
                Menggunakanengkau
Baikuntukkejahatan, pembunuhan
Dan banyak orang juga yang
Menjadiberdosakarenaselalu
Mengambilengkaudari orang lain
                Uang,
                Banyak orang yang telah
                Memilikiengkau…
                Tapi,…
                Banyak orang jugatidak
                Memilikiengkau
Uang,
Akuselaluinginkauselalu
Ada untuksemua orang…
Dan, menjadisumberkehidupan
Bagi kami
                Uang,
                Teruslahadauntuk kami
                Agar kami bias terus
                Hidup…danmenikmati
                Indahnyahidup

Tondei, Rabu 5/9/2012


Alam

Saatkurasakannyamannya
Tinggal di dekatmu…
Akuselaluinginterus-menerus
Berdekatandenganmu
                Alam, karenadirimulahaku
                Seringmendapatinspirasi
                Akumenggunakandirimu
                Sebagaitempatpengetahuanku
Tapi, kadangkala
Kebanyakan orang sering
Merusakengkaudan
Menjadikanengkau
                Sebagaitempatpelampiasanmereka
                Karenaitujuga yang menciptkan
                Seringmarahkarenaulah kami
Alam, maafkanlah kami
Karenaseringmemperburukdirimu…
                Alam, teruslahbersamaku
                Di akhirhayatnanti

6/9/2012
6/9/2012

Pramuka

Dari banyaknyakegiatan
Sekolah yang ada
Hanyakaulah yang
Sangatkugemari
                Pramuka
                Kauselalumengajarkanaku
                Akan rasa kekompakkan, persaudaraan
                Bahkankebersamaan
Pramuka
Kaujugamengajarkanaku
Tentangkemandiriandan
Tidakbergantungpada orang lain
                Jiwapemberani, penolong, ksatria
                Pahlawanselaluadapadamu
Pramuka
Kaumengajarkanaku
Tentangrasanyaberbagi
Kepada sesame teman
                Teman
                Teruslahmelekatpadadiri
                Dan jiwaku
6/9/2012

Nasihat

Padawaktuayahku
Mengajarkanartinyaengakau…
Padawaktuitujuga
Akuseringmenghiraukanengkau…
                Tapi, apa yang seringaku
                Dapatsaatmenghiraukan
                Engkau
Akuseringmendapat
Ganjaran yang setimpal
Karenaseringmenghiraukan
Engkau…
                Nasihat
                Maafkalahakukarnasering
                Tidakmenghiraukanengkau…
                Akuakanberjanjituk
                Tidakmenghiraukanengkaulagi…
Karenatanpakau
Hidupkuterasatak
Berguna…
6/9/2012

Ilmu

Ilmubagaikanperisaibagiku
Kemanapunkuberada
Ku selalumembutuhkanengkau….
                Kauselalumembuatdiriku
                Terasaberanidankelihatan
                Sepertidihormati
Ilmu
Setiap orang yang bertanya
Tentangapapunaku
Selaluterlihatbranimenjawabnya…
Itusemuakarnakau
                Selalubersarang di diriku
                Kaumembuatdirikuselalu
                Ingintahutentangapapun
Ilmu
Tanpadirimuakuterlihat
Seperti orang yang bodoh
                Ilmu
                Teruslahadapadakudan
                Tetapbersarang di diriku

6/9/2012

Sepatu

Ketikadirikuinginpergi
Kaselaluadabersamaku…
Kaucobamelindungikakiku
Agar takterkenapanas…
                Sepatu
                Tanpadirimuakutakberani
                Keluarrumah..
                Kauselalureladirimusaja
                Yang terkenapanas
Kauselalukuinjakkan
Kemanapunkuberada
Bahkandengansemau
Keinginankusendiri
                Sepatu
                Kauselalumenemaniharihariku
                Bahkankautakbosanbosannya
                Bersamaku
Sepatu
Teruslahmenjadisahabatku
Sampaiakutuananti

Tondei ,7/9/2012

Bendera

saatkumulaibersekolah
akuseringmelihatdirimu
yangselaluberkibartanpa
henti-hentinya
                setiapharisenin kami
                mengadakanupacara…hanya
                untukmengenangjasa-jasa orang
                yangtelahmendirikanengkau…
bendera
kauadalahlambangkemerdekaan kami
kauadalahlambangnegara kami dan
kauadalahlambangkeberanian
dankesucian kami
                bendahara
                teruslahberkibar di ujung
                tiang yang tinggi di
                Negara tercintakuini

Tondei ,7/9/2012

Musik

Saatdirikumerasakesepian
Kauselaluadauntukku
Dengar…
Kauselalumenjadisumberinspirasibagiku…
                Kauseolah-olahmembawaku
                Keduniamudanmengikuti
                Iramajejakhidupmu…
Kauselalumembuatku
Merasabahwaaku
Samasepertidirimu
Yang selalumembuat
                Nada-nada yang indah
                Lagu-lagu yang merdu
                Bahkan
                Bunyi-buyi yang memukauhati
Musik
Selalujadikandiriku
Samasepertimu
Agar ku bias rasakan
Bagaimanajadidirimu

Tondei ,7/9/2012

Mimpi

Saatakuingintidur
Akuselaluinginkau
Datangmenghampiriku…
                Akuinginmelihatapa
                Yang inginakulihat…dan
                Takpernahkulihat
Mimpi
Tanpadirimuakusama
Sepertidengan orang
Yang takpunya
Kebahagiaandankesuksesan
                Mimpi
                Taksemua orang bisakau
                Datangi… tapi, aku
                BerharapkepadaTuhan
                Agar ka uterus mendatangiku
Setiapmalam, bahkan
Setiapwaktu…
Selalulahmenjadi
Bungatidurku

Tondei ,7/9/2012

Negara

kautempat di mana
akutinggaldan
dimanaakubertedu…
                kaulahtempatakumengabdi
                dantempatkumencurahkan
                isihatiku
Negara
Jikakautakpernahada
Di manakahaku
Tinggal, dimanakahaku
Mengabdi…
                Negara
                Kausangatkudambakan
                Kausangatkucintai
                Dan kausangatkukagumi
Negara
Teruslahmenjadikebanggaanku
Dan teruslahmenjadi
Tempattinggalku

Tondei ,7/9/2012

SenyumdanSemangat

Senyum
Kaubagaikansemangatbagiku
Di saatada yang
Mematahkansemangatku
Tapiakuselalumelawannya
Dengansenyuman…
                Semangat
                Di saatkumulai
                Lelahakanhidupini
                Kauselalumengingatkan
                Akuakanapaartinya
                Senyuman
Senyum
Teruslahmenjadisemangatku
Dan
Semangat
Teruslahmenjadisenyumku…

Tondei, 8/9/2012

Kupu-kupu

Akusangatinginsepertimu…
Kaubisaterbang, melayang,
Bahkankaubisaapa
Yang kutakbisa
                Kupu-kupu
                Ajarkanlahakusamaseperti
                Yang bisaterbang…dan
                Menikmatiindahnyahidupini
                Tanpaadabebansedikitpun
Kupu-kupu
Seringaku katakana kepada
Orang-orang di sekitarkubahwa
Indahnyadanbegitu
Senangnyamenjadidirimu
                Kupu-kupu
                Bawalahakuterbang
                Bersamamudanjangan
                Antarakupulangkembali…

Tondei, Selasa 11/9/2012

Lautan

Saatkulihatengkau
Akuseringmengatakan
Betapamenakjubkannya
Engkau…
                Airmu yang segar…membuat
                Orang-orang seringterpesonaakan
                Keindahanmu…
Ombakmu yang indah
Dilihatjugamembuat
Akukagummelihatmu…
                Tapi, terkadangketika
                Tuhanmarahkarnakecerobohan
                Kami…kauselalumenjadisumber
                Ketakutanbagi kami
Airmu yang segarterkadang
Masukkerumah-rumahwarga
Ombakmu yang indahjuga
Menghantamrumah-rumahwarga
Dan itumembuat kami takut
                Lautan
                Janganlahmenjadibencanabagi kami
                Tapi, jadilahsumberkehidupan
                Dan ,kesenanganbagi kami…

Tondei, 11/9/2012

KUMPULAN PUISI ISWAN SUAL

Kepada Bunga

Bukan hanya perempuan yang tergila padamu
Tetapi aku juga
Karena aku pengagum keindahan
Mengagumi wewangian
          Engkau mengajariku kehalusan
          Dan kelembutan
          Engkau adalah ciptaan Tuhan
          Engkau adalah gambaran kelembutan ilahia
Aku memujamu
Banyak insan memujamu
Kau adalah teman dalam kesendirian
Kau adalah sahabat dalam perenungan
          Engkau bunga
          Memamerkan keindahan tanpa mengharap bayar
          Engkau sadar bahwa kemolekan hanya sementara
          Hingga tak lama-lama bermega

Tondano, 23 Maret 2013


Seorang Blogger

Berjam-jam di depan layar
Memaksa sepasang mata mengalirkan air
Jari-jari terus saja melompat ciptakan harmoni pada papan tuts
Semua demi menuangkan pikiran memenuhi kertas
          Belum tentu akan dibaca
          Tapi aku pulang dengan perasaan puas
          Semoga perasaan dan harapan menyebar luas
          Menonjok keras para penguasa yang hilang waras
Bukan hanya untuk ikut arus zaman
Bukan hanya menunjukkan kita tak gaptek
Namun menciptakan budaya Indonesia baru
Masyarakat yang gemar bergaul dengan buku
          Walau hanya bermodal sedikit rupiah
          Ingin ku jangkau seluruh dunia
          Dunia maya menjadi semakin nyata
          Membuktikan teori “aku berpikir, aku ada”
Berkaryalah , tabrak rintangan
Jangan pikir tentang apatah kelak dilirik terbitan
Kita berkarya untuk penyadaran
Kita berupaya untuk perubahan
Datanglah kiamat

Tak maukah kita menyandang
Kedudukan terhormat
Sementara laku kita
Jauh daripada cahaya
          Bagaimana bisa membangun negeri
          Bila kita tak jinakkan diri sendiri
Tak malukah kita
Berkedudukan tinggi
Sementara mampu kita
Tak lebih baik dari budak
          Bagaimana kita berbangga diri
          Bila tak punya harga diri
Dunia ini penuh kemunafikan
Dunia ini di jelang jurang
Kiamat, cepatlah datang
Biarlah yang telah usang
Tertelan, hilang tak lagi terlahirkan
          Untuk apa mengada di dunia
          Bila harus berebut-saling makan
          Hidup begitu tak ubahnya binatang
Kini kita hanyalah binatang
Andalkan naluri tak rela berbagi kandang
Kini, kita persis hewan
Maunya sendiri tak junjung aturan


















Hantu Penasaran

Burung kerok menohok-nohok langit
Dengan suara serak hingga berak
Kami tahu, kami sudah tahu
Itu pertanda seorang warga telah dibawa jauh
          Burung berbunyi tak henti
          Memekak telinga berhari-hari
          Ada apa ini? Secepat itukah kita mengantri?
          Suami hilang istri, istri hilang suami
Atau, tak perlu bertanya pada ilahi
Baiknya pada diri sendiri
Kita selalu mencari kambing hitam
Dalam kita ada borok, bau busuknya tak tertahankan
          Barangkali, hidup kita banyak meniru orang kota
          Sehingga terserang wabah kota
          Penyakit menghisap badan
          Gara-gara banyak orang makin daging haram
Kata dokter ada yang salah
Dengan pola makan
Kita mampus oleh kerakusan
Kita mampus oleh ketamakan
          Kita mati dalam lumbung
          Karena kedunguan
          Kita mati tanpa ampun
          Karena ketololan
Lanjutlah dengan ketololan
Lanjutlah dengan kedunguan
Kalau mau berakhir mengenaskan
Kalau mau berakhir dan jadi hantu penasaran














Sajak untuk Kita

Mungkin semua ini tak bisa lagi membaik
Kendati orang baik berjuang setengah mati
Perjuangan mereka tak berarti
Perjuangan hanya membekas setitik
          Hanyalah Yang Maha Kuasa yang bisa
          Kita bukanlah apa-apa
          Dunia ini sedang hancur oleh ulahnya
          Punah oleh ketidaksadarannya
Kita bukan membangun rumah
Tapi kuburan
Untuk kita
Untuk semua
          Kian berkembang semakin binatang
          Mungkin di dunia lebih banyak setan
          Kita tak kuat, kita tersesat
          Masuk dalam jerat oleh para sahabat
Ingin ku gugat Tuhan
Harusnya dia membunuh para setan
Tapi dibiarNya berkeliaran
Manusialah yang jadi korgan
          Tapi, apatah aku?
          Terbuat dari debu
          Pula kembali mendebu
          Hanya sanggup mengeluh
Kalau mengubah dunia adalah cita-cita
Itu tak lebih dari sebuah euforia
Mengubah diri sendiri sudah susah
Namun, bukan berarti tak bias
          Kita telah tersesat
          Karna selalu abaikan petunjuk
          Cerita hidup kita menjelang tamat
          Sbab tak mau rujuk
Ini salah siapa?
Orang tua, yang wariskan kebiasaan?
Atau, salah sendiri tak mau percaya kebijaksanaan?
Barangkali, mestinya sekarang pikirkan masa depan
          Kembalilah
          Kita mulai dari awal    
          Kejarlah hikmat
          Lakukan moral
Belajarlah mendengar
Pahamilah suara-suara
Menarilah mengikuti irama
Tembangkan lagu-lagu indah
          Bangunlah rumah nan bersahaja
          Buanglah niat membangun Istana dan menara
          Rumah sahaja ditinggali keluarga
          Istana dan menara untuk seorang raja
Tanpa kemenangan adalah kesederhanaan
Bila masih berlomba kita sudah kalah
Karena menang adalah kesendirian
Jangan bertanding, baiklah bersanding












Lupa Diri

Panas pagi menyengat kulit
Keringat masih enggan menembus pori-pori
Dari tadi aku sudah sampai di sini
Sendiri bertemankan sepi
          Aku melihat gedung-gedung bercat putih
          Bertolak dengan langit, biru berganti abu-abu
          Persis suasana di Gaza saat ini
          Dengar-dengar, Israel kirimkan terus banyak pembunuh
Gedung-gedung bercat putih
Di atasnya terdapat kubah
Dimana ciri Minahasanya?
Bupati di sini senang meniru timur tengah barangkali
          Manguni dipaksa lengser oleh merpati
          Tapi selalu mengaku Tou Minahasa sejati
          Kalau pemimpin sudah krisis identitas
          Pantaskah dia digelari Tonaas?
Rupanya banyak yang bersyukur
Bilai nilai-nilai leluhur lebur
Nampaknya kita lebih suka mengekor
Tak punya jiwa pelopor
          Bukan berarti aku benci dunia luar
          Namun, aku ingin orang tahu darimana kita berasal
          Kita dilahirkan dengan bekal masing-masing
          Jadi, haram menyembah yang asing
Terbang jauh burung-burung
Tak lupa mereka dimana sarang
Ingin dipandang?
Berikan barang dari hasil keringat kita yang bercucuran














Alam Ingin Diperhatikan

Di gereja berhamburan pembungkus permen
Banyak juga kantong makanan ringan
Jemaat sampai pendeta suka lempar sampah sembaran
Bagaimana bisa mereka terus gembar-gemborkan perihal iman?
          Di gedung sekolah lebih banyak guru tak juga pentingkan kebersihan
          Bertolak belakang dengan slogan-slogan
          “Sekolah sebagai pusat kebudayaan”
          Lembaga ini mengusir murid jauh dari pendidikan
Kantor-kantor pemerintah tak ketinggalan
Mereka pandai menyimpan kebohongan
Selalu berteriak-teriak “Penting menjaga lingkungan”
Dalam badan mereka penuh kekotoran
          Bersih harus bermula dari dalam
Harus berawal dari kita
Orang meniru perbuatan
Mereka tak paham kata-kata hampa
Tanpa sadar kita meracuni air
Air yang kita minum
Tanpa sadar kita mencemari tanah
Tanah dari mana makanan kita meruah
          Barangkali tidak sadar, kita kotori udara
          Udara yang kita hirup tiap saat
          Mungkin juga kita lupa
          Menggunduli hutan mengundang malapeta
Berterimakasihlah pada alam
Bukan sebaliknya, mencipta ketidakseimbangan
Bersyukurlah pada Tuhan
Jagalah apa yang Dia percayakan
          Baiklah kita kembali berteman dengan alam
          Keakraban dengannya adalah kenyamanan
          Baiklah kita bersahabat dengan lingkungan
          Kedekatan dengannya adalah kebahagiaan
Hiduplah dari kecukupan alam
Usah teknologi berlebihan
Alam menawarkan kesembuhan dan pemulihan
Kecanggihan tanpa batas hentar kita
Pada jurang penderitaan
          Gara-gara alam tak dapat penghormatan
          Ia pun berhenti berikan kesejukan
          Gara-gara lingkungan tak terima perhatian
          Ia pun tampil dengan wajah muram
Umur bumi bergantung pada penghuni
Umur tubuh bertopang pada jiwa
Rawatlah rumah, sebab disitulah istana
Peliharalah tubuh, karena disitu berdiam Alla
          Privaitasasi air menyumbang sampah plastik dimana-mana
           Kita mengonsumsi air bercampir bahan kimia
          Kenapa air kini mesti pula dibeli?
          Padahal seharusnya gratis
Tanya itu pada bapak dan ibu terhormat
Tanya kenapa semua yang menguasai hajat hidup orang banyak
Telah dibiar mereka dijarah para penghisap darah
Tanya kenapa tak ada sisa untuk rakyat











Dicari Guru yang Tahu Mendidik

Dengan langkah tergesa
Siswa siswa menuju sekolah
Mereka asyik bercanda tawa
Berbagi peristiwa tadi malam
          Yang lainnya datang dengan sepeda motor
          Terlambat kerna tadi malam telat molor
          Berpacu dengan guru
          Yang juga tak bisa datang tepat waktu
Para siswa berbaris bak prajurit
Setiap pagi berebut tempat bebas cubitan matahari
Keringat menyembur keluar
Menguak bau badan tak sedap
          Maka setiap pagi mereka berontak
          “Sudah waktunya bertanya”
          Sebagai tanda pubertas
          Mencari-menunjuk identitas
“Anak-anak kini makin liar tak terkendali”
Begitulah keluh guru yang hilang nyali
Kenyataan mereka hindari
Tak mau susah payah cari solusi
          Yang paling mudah, melecut mereka
          Membentak mereka
          Mengancam tidak dinaikan kelas
          Atau membiarkan saja
Kalau begini caranya
Berarti kita sedang meraksasakan ular
Untuk melahap kita















Hadapilah Ulah Kita

-Kapan kiamat?
Kita sedang kiamat, kataku
Sedang kiamat oleh ulahmu
Sedang kiamat oleh ulahku
Masihkah kita hendak mengelak?
-Seperti apakah kiamat?
          Bila nurani tak ada tempat, kataku
          Tak ada tempat di hatimu
          Tak ada di hatiku
          Masikah kita mau mendebat?
Bukankah kiamat berarti tamat?
Kita sementara menuju kesana, kataku
Kita berarak menjemputnya, bukan begitu?
Kita berarak menyongsongnya, kataku
Masih tidak sadarkah kita?
Bagaimana bisa?
Kitalah penyebab kiamat, kataku
Kitalah biang keladinya, kataku
Kitalah bangsatnya, kataku
Masihkah kita menolak?
Apakah sudah terlambat?
Proses wafat tak bisa berhenti, kataku
Arakan sudah lepas di jalan, kataku
Bahkan mereka anggap sedang menuju surga
Tinggal, maukah kita memperlambatnya?

















Hikayat Guru Murid

Para murid mencontoh
Pada sosok yang bodoh
Sosok yang banyak melongoh
Daripada menjadi tokoh
          Para guru hanya berlalu
          Seakan tak tahu
          Apa yang berlaku
          Padahal keadaan kita kian memburuk
Lolombulan malu melihat ke bawah
Tingkah kita sudah sangat kelewat batas
Makin egois dan saling memangsa
Yang berduit menghimpun tanah
 Berlapang-lapang demi anak mereka yang manja
Terpaksa banyak yang kehilangan tanah
          Nanti mereka didesak pula ke kota
          Dan menjadi tukang minta-minta
          Anak-anak gadis jadi kupu malam
          Ayah menjadi pencuri anjing dan ayam
          Dijual ke restoran-restoran
          Semua hanya karena harus bertahan
Para murid hilang harapan
Orangtua pun banyak yang tak bisa diandalkan
Mereka berusaha mencari hiburan
Menghapus lara di kala mereka masih rentan
          Para guru yang tak punya hati
          Membuang jauh rasa peduli
          “Biarkan mereka merintih”
          Teriak guru yang telah kuburkan nurani
Para ibu yang miskin
Berseru-seru kepada ilahi
“Biar rahim kami kering.
Agar penderitaan ini tak terwariskan.
Cukuplah hanya kami.
Mereka telah berpindah ke bumi
          Yang kaya dengan enteng
          Mereka berkilah
          “Kalian malas. Orangtua kalian malas.
          Tak sudi kai berbagi hasil kerja keras!”
Bagaimana bisa?
Kami dimiskinkan!
Kami diasingkan!
Alat produksi dimonopoli
Lapangan kerja dibatasi
Pendidikan sarat diskriminasi
Ada jurang lebar dalam kualitas
Kerja bagus harus ijasah universitas
          Di Indonesia kita dibayar
          Berdasar ijasah. Bukan kerja
Para murid mencontoh
Pada sosok yang bobrok
Sosok yang senang membelot
Lainnya berpeluh, sedangkan dia sibuk ngorok.












Mengajar

Mengajar laksana berkebun
Dimulai dari pembersihan
Mencabut habis segala rerumputan
Agar besar beni ditebarkan
          Mengajar itu adalah menanam
          Membantu menyiram di kala kekeringan
          Mencabuti alang-alang
          Yang bisa merintang pertumbuhan
Mengajar adalah kerja pendidik
Menanam adalah kerja petani
Dua-dua punya falsafa yang sama
Dua-dua mengharap hasil yang serupa
          Kalu buruk petaninya
          Tak baik hasil panennya
          Kalu tak becus pendidiknya
          Tak baik sumber daya muridnya
Petani harus rajin melihat tabiat alam
Pelajari bulan dan letak benda-benda langit
Pendidik mesti tekun merenung
Perhatikan lingkungan  dan pahami yang pelik
          Mengajar adalah panggilan
          Untuk dan demi masa depan
          Mengajar adalah pengabdian
          Agar ada perubahan
Wahai pendidik, resapilah dan tunaikanlah!

















Pencerahan

Sinar matahari sore menembusi jendela
Hangatnya tak seperti beberapa jam lewat
Lama sudah ternyata aku mengurung diri di kamar
Beberapa buku kecil dan besar kupindah
          Menata buku-buku yang berjejer itu
          Merupakan kerja yang aku suka
          Tambah lagi banyak rayap-rayap nakal
          Melubangi kertas-kertas tebal
          Mereka tak tahu semua itu dibayar mahal
          Seandainya mereka tahu!
Buku yang jumlahnya mendekat ribuan
Setiap hari memelas minta perhatian
Menawarkan sejuta istilah
Sejuta pengetahuan
          Aku berharap kebiasaanku menjangkit
          Biar semakin banyak yang tercerahkan
          Lebih bijak melihat dari banyak sudut
          Karna orang begitulah yang utamakan kebenaran
          Tak terjebak seperti katak dalam tempurung
          Sebab pecinta kebenaran dekat dengan Tuhan
Matahari nyaris tertutu semua oleh Sinonsayang
Aku pun nyalahkan komputer menyetel lagu-lagu
Kubuka beberapa folder
Foto pacarku menyebar pada layar datar
Semuanya melihatku merayu
Aku tersenyum dan mulai merindu
Dalam diam terucap “selamat sore sayang”.















Cinta Sejati Kekasih

Seperempat abad lebih aku kini
Sedang dikau masih di ujung belasan
Kepalaku tak lagi lebat
Kejelekkan pelan-pelan mulai merapat
Kau bilang, “Aku malah makin sayang.
Aku malah kian terpana.”
          Ketulusanmu memelukku
          Kuhargai sepenuh hati
Memang, kadang aku terheran-heran
Kepadaku engkau menjatuhkan pilihan
Keremajaan t’lah engkau korbankan
Masa senang-senang engkau tinggalkan
Demi aku yang sama sekali tak romantis
Buat aku yang taklah sepadan
          Kemesraan yang penuh
          Kusuka sampai mati
Kau taburi hidup ini dengan bunga warna-warni
Meruah hari-hari dengan pengorbanan diri
Kau bilang, “Ku ingin kau selalu di sini.
Hanya kau yang mengajari bagaimana mestinya hidup dijalani.”
Tak kusangkah sepenggal pesan singkat
Yang kukirim saat kebetulan kau penat
Ciptakan selamat, sesak terlewat
          Perhatianmu
          Kurindui setiap detik
Terima kasih kerna kau baik
Memberi warna pada kertas putih
Mengirim harapan untuk hari-hari yang belum pasti














Sajak untuk Della (Sebuah keluhan)

Della, kuharap kau baik-baik di sana
Janji yang tak pernah kita buat
Semoga tetap kau ingat
Hingga kau selalu yakin di sana aku pun ada
          Kita sama-sama berjalan
          Saksikan banyak kegagalan
          Ada tahun kita berkelimpahan
          Ada tahun terpaksa kita menerima keadaan
          Telah lama kita berpacaran
          Sudah dua tahun lima bulan
Kalau usia, kita sudah matang
Sudah bisa bikin anak sendiri
Sebagai penerus keturunan
Biar dia jadi seorang polisi
          Ah jangan!
          Tak sudi aku, jadi alat pemerintah
          Bisa-bisa mereka mencelakai kita
          Lihat saja!
          Gara-gara tuntut keadilan
          Polisi-polisi itu pentungi kita
          Gara-gara kita mohon harga diturunkan
          Pemerintah suruh tembaki kita
Della, menikah nanti saja
Moga-moga kelak pemerintah sadar juga
Aku tak mau anak-anak kita ditembak semua
Kalau mereka kini lahir
Lekas mereka tersingkir
Sebab pemeringah tak ingin anak pintar
Yang mereka ingin anak-anak lapar
Agar mudah diperintah-perintah sebagai budak












Tak Ada Arti

Memandang Lolombulan dan Sinonsayang
Dalam suasana sanubari tak berujung
Aku tersesat pada dunia nyata
Gantungkan harap di cabang yang hampir patah
          Ladang bersama kami garap
          Pada mata bajak bertetesan keringat
          Namun kami taklah bijak
          Masing-masing arahkan bajak pada sasaran berbeda
Anak-anak berlompat-lompat
Sudah keluar dari kandang
Mereka kehilangan gembala
Dia sibuk dengan rupa-rupa sia-sia
          Aku serupa gembala tolol
          Melihat mereka yang tak punya nurani
          Tak paham mereka mendidik
          Yang mereka pentingkan ialah gaji
Aku hanyalah orang tolol
Di antara mereka yang tak memiliki
Kemampuan untuk memahami
Keadaan kita di hari nanti
          Aku menderita
          Menanggung sendiri penyakit kita
          Aku ingin meronta
          Tapi bagi mereka itu tak ada makna


















Harapku

Ingin sekali aku melihat generasi berikut
Saling menopang bukan saling sikut
Bukan hanya membeo
Atau serupa bunglon
          Sebab kita sebenarnya begitulah
          Tak sadar, hanya ikut-ikutan
          Kreatifitas menjadi tumpul
          Banyak meniru yang tak perlu
Seiring waktu terus beraktifitas
Kita pingsan mimpikan yang tak pantas
Jiwa kita mandek
Buntuh oleh perbuatan pasar bebas
          Tak ada kata “tak bisa”
          Untuk mereka yang terus berusaha
          Jangan menyerah pada masa
          Nasib tergantung pada kita
Jauh hingga angkasa
Orang Amerika telah menjelajah
Semua bisa digapai
Asal kita berupaya
          Tentu kita ingin bahagia
          Menjalani hari esok tanpa ragu
          Tentu kita impikan sejahtera
          Menapaki detik per detik tanpa malu
Belajarlah pada yang tahu
Meniru hanya yang bagus
Rubahlah sesuatu bila itu perlu
Toh, kesanalah kita menuju














Rindu Kepada Kekasih

Beberapa hari ini aku tak melihatmu
Tak mendengar suaramu
Tak menyentuh kulitmu
Tak mencium bau tubuhmu
          Namun kau hadir dalam benak
          Kau muncul dalam perasaan
          Kau terukir dalam catatan
          Kau tersentuh dalam percakapan
Jangan kau salah sangka di sana
Di sini aku tetap sama
Hanya ada sedikit masalah
Ponselku belum terisi pulsa
          Ciumlah pakaian yang kutinggal di kamar
          Karena bau itu bagian diriku
          Bacalah buku yang kusarankan
          Lewat dunia ide kita bertemu
Pulanglah kau sayang
Bila ada libur barang seminggu
Kan kumanja kau di atas pangkuan
Dalam dekapku kau boleh menuntut
          Pulanglah sayang
          Hadirmu begitu kutunggu
          Biarlah kita ukir kenangan
          Janganlah kau merajuk


















Lempar Iman

Satu lagi kejadian
Seorang siswa kedapatan mabuk
Padahal baru kelas dua SMP
Cari uang belumlah tahu
          Satu lagi kejadian
          Beberapa siswa kedapatan berciuman
          Padahal masih ingusan
          Menimang bayi belumlah tahu
Satu lagi kejadian
Seorang mahasiswa bunting tiga bulan
Padahal baru duduk di semester dua
Cari pacarnya entah telah kemana
          Satu lagi kejadian
          Seorang bayi tewas karena kurang perhatian
          Padahal ibunya belumlah menikah
          Ayahnya juga lari dari tanggungjawab
Telah banyak kejadian
Anak gadis hijrah ke kota-kota
Dengan kedok mencari kerja
Tak berijasah andalkan raga
          Telah banyak kejadian
          Gadis-gadis kita pulang membawa harta
          Keluarga terima mobil mewah
          Darimana uangnya, orangtua tak pernah tanya
Gereja juga seolah memberi iya
Memberi contoh mengejar kaya
Yang penting jemaat terus memberi uang
“Masa bodoh, pabila tak beriman”














Terselip dalam Semangat Sejarah

Engkau gelisah setiap malam
Banyak cita tak tumbuh dan berkembang
Ya, engkau sudah pasti gelisah
Menyaksikan generasi menuju ke arah yang salah
          Para tetangga bukan mereka
          Bukan mereka yang mau diajak bicara
          Tentang cita
          Tentang kita
Engkau gelisah di atas ranjang
Merenung timbunan kegagalan
Mengapa mereka malah menghalang?
Malah membiarkan kapal karam
          Pikir mereka aku orang gila
          Hanya karena ada yang beda
          Hanya karena menentang realita
          Hanya karena minta mereka buka mata
Engkau terusan resah
Mereka tak henti menghina
Memegang teguh “yang sudah biasa”
Kepada kesesatan mereka menyembah
          Sangka mereka aku tak layak
          Karena aku sendirian
          Karena mereka banyak
          Sangka mereka kebenaran memihak jamak
Engkau selamanya resah
Lenyap dalam kenangan
Pupus dari ingatan
Namun akan selalu bersama semangat sejarah














Pagi Buatan Tuhan

Belumlah lama mata tertutup
Pagi datang menyusul
Cepat, cepat sekali tidur berlangsung
Tak sempat mimpi dirajut
          Kami menembus tiang-tiang hujan
          Rintik-rintiknya memagut wajah
          Roda-roda berlari dikejar setan
          Banyak kali kekasihku bilang, “Pelan-pelan saja”
Akupun ingat bahwa kami masih muda
Belumlah banyak yang dikerja
Kecepatan yang ditunggang kukekang
Demi selamatkan dua nyawa
          Memanglah indah laju dilambat
          Sambil menikmati deretan rumah
          Deretan sawah dan beragam tanam
          Menghargai setiap karya Tuhan
Angin pagi mendekap kami dingin
Kekasihku tak tahan menahan ingin
Ingin merengkuh, mengusir bersin
Oh amboi! Di sudut bibir senyum tersungging
          Dalam dada terungkap harap
          Bila boleh umur jangan berhenti
          Bila boleh biar ini jadi abadi
          Terus muda meremaja
Namun, aku hanya dicipta
Tentu Dialah yang menetapkan
Kita hanya sanggup berserah
Taat pada sabda dan titahNya














Kupu dan Putri Kecil

Puteri-puteri kecil berceloteh ria
Menangkap kupu berwarna putih
“Hey! Ada kupu raja.
Kupu ratu juga ada”
          Tiga anak perempuan itu
          Melempar senyum pada kami yang duduk
          Dua anak perempuan kembar
          Senyuman elok diumbar-umbar
Puteri-puteri tak berdosa
Menghias indah suasana
Tidak lengah mereka bertukar canda
Bertukar pula cerita dunia khayal
          Kini pergi mereka dibawa kakek
          Bertiga mereka di punggung kendaraan
          Kini mereka hilang tinggalkan kenangan
          Bertiga berlalu sambil terkeke
Rindu aku pada mereka
Tiga putri kecil yang tak kukenal
Tak tahu anak siapa
Mereka pergi tinggalkan tawa
          Kupu raja terbang
          Mencari tiga putri
          Kupu ratu memandang sedih
          Kupu-kupu kini sendirian
Rinduku pada putri-putri kecil
Terukir pada sayap kupu
Kebasan sayap kebebasan merapat
Pada putri dan kupu aku mengingat














Tugas Pemberian Tuhan

Bersama kita tertawa
Menohok dan menggelitik langit
Hembusan angin barat merambat
Membuat ngilu sendi-sendi
          Aku senang duduk di sini
          Belajar memahami dan mengerti
          Melihat semua dari lain sisi
          Mencegah kita dari selisih
Sungguh, aku senang bila kita saling memandang
Membiar diri larut dalam permenungan panjang
Ke jauh jangkau pikir terbentang
Hati turun dalam membenam
          Aku senang duduk di sini
          Agar pengalaman kita saling mengisi
          Aku mau merengkuh engkau duhai kekasih
          Berharap selamanya kita berbagi
Pada matahari hampir terbenam
Benih bibit kutitipkan
Harapan bergantung pada masa depan
Masa depan dua insan
          Matari bawalah pesan-pesan
          Katakan, diriku ini kerasan
          Terkandung rindu dendam
          Bila dihalang akan kutentang
Matahari kembalilah bersama sabda Tuhan
Datanglah dengan iring-iringan
Jadilah saksiku dalam juang
Juang demi tanggungjawab yang ku emban














Galau Sang Lelaki Itu

Hampir seharian langit menyiram bumi
Malam basah kuyup menahan gigil
Gigi-giginya gemeletuk
Tubuhnya berusaha diselimutinya
          Tirai dekat jendela melambai
          Kodok-kodok bersenandung
          Burung-burung tidur setengah sadar
          Jangkrik berderit gembira
Adalah seorang lelaki galau
Mengembara tak tentu arah
Berharap beroleh keteguhan gunung
Seikhlas air mengalir berduyun
          Adalah seorang lelaki risau
          Pikirkan keadaan kian kacau
          Kepercayaannya tak bisa bertahan
          Agama hanya alat manusia-manusia degil
Kabut merapat berkumpul
Halangi gemintang yang menebar pesona
Betapa si lelaki meluntur pada agama
Kebenaran tersingkir oleh tahayul nan betul
          Si lelaki bimbang
          Tak dapat dipercaya lagi sang nahkoda
          Sang nahkoda mabuk oleh rayuan ombak
          Sang nahkoda terbujuk oleh semaraknya rayuan ikan


















Hikayat Lelaki Cerewet

Lelaki tua berlumur tawa
Setiap hari mencipta canda
Rajin dia berceloteh
Tentang hal yang remeh
          Kursi kosong ditinggal melompong
          T’lah bosan rupanya mereka menyimak
          Menyimak setiap kalimat
          Kalimat seloroh sarat penat
Lelaki tua kebanjiran kata
Tak dikeluarkan sesakkan dada
Ia hanya singkirkan beban
Bebaskan raga dari kungkungan pikiran
          Ia tak berharap lebih
          Memelas dia tak ingin
          Hanya siapkan saja kuping
          Kata-katanya kuat melengking
Lelaki tua serupa orang bijak
Mengumbar kata tiada putusnya
Tak peduli apa didengar
Terus saja dia berkilah
          Barangkali takkan berhenti
          Dia seorang wicarawan sejati
          Dibawa terus hingga mati
          Karena sudah anugerah ilahi


















Pesan Mayat

Kalau aku mati, kobarkan api
Biarlah raga hangus menjadi abu
Tak mau aku dilubangi ulat-ulat
Tak mau aku berbau busuk
          Usah sibuk mencari sebidang tanah
          Sebidang tanah untuk tak bernyawa
          Usah terbeban membeli kayu
          Kayu untuk dia yang mati tubuh
Bila tersisa sebuah penghormatan
Ceritakan apa yang aku perjuangkan
Ceritakan pula harapan
Tak perlu tunjukkan nisan
          Karena aku taklah mati
          Hanya dari jauh mengamati
          Dari dunia yang lain
          Hanya bisa menyentuh dengan angin
Tertawalah saat aku kaku terbaring
Hilangkan upacara yang tak perlu itu
Cegah orang itu memuji di atas mimbar
Kata-katanya buruk serupa bau mulutnya
          Jangan buat aku mual
          Jangan buat aku muntah
          Jenasah cepat membusuk
          Bila biarkan mereka bodohi kita terus


















Sajak untuk Kita yang Diselamatkan

Kristus tergantung siksa tak bisa merontah
Mereka yang irih berdiri dengan pongah
Bersorak gembira…
“Perebut tahta pergilah ke neraka!” mereka berkata
          Anak domba dengan berat beban di punggungnya
          Berkali-kali dilecut
          Darah mengucur dari tubuhnya
          Sumpah serapah pun diterimanya
Ia terhitung sebagai pemberontak
Ia terhitung orang yang terkutuk
Terseok-seok dia melangkah ke Golgota
Orang-orang memandang tanpa kata
          Dalam keadaan itu mereka terus mengolok
          Tak putus-putus mereka mencambuk
          Menendang, meludah sampai membuatNya telanjang
          Tapi Dia tiada mendendam
Dia dikoyak-koyak dengan biadab
Agar kita mendapat selamat
Dia siap disembelih seperti domba
Karna dosa-dosa kita
          Camkan! Renungkan!
          Paskah bukan selebrasi dengan rupa pernak-pernik
          Paskah adalah perenungan
          Bukan perayaan gagah-gagahan
Camkan! Renungkan!
Paskah adalah pengorbanan
Pengorbanan seorang kawan
Paskah adalah penyelamatan
          Camkan! Renungkan!
          Paskah adalah menata
          Menata jiwa
          Bukan hura-hura tak bermakna
Camkan! Renungkan!
Paskah adalah menyadari salah
Menyadari dosa dan kebohongan kita
Kebohongan yang tersembunyi di balik senyum ramah
          Ingat…
          Dia sekarat agar kita tertawa
          Dia wafat agar kita selamat
Kristus…
Engkau agung dan mulia
Aku ingin terus eluh-eluhkan diriMu
Dalam tindaklakuku





















Rindu pada Silam

Dulu semeja kita memberi
Santun kita bergaul
Meski tradisional,
Beralaskan daun pisang, sendok tak ada
          Kini, kita berebut
          Laksana kawanan anjing dilempari tulang
          Hilang malu
          Seperti rusa tak berempedu
Padahal kita bangga pada modern itu
Perkakas serba canggih
Menu bervariasi
Namun di meja makan kita masih mengeluh
          Dulu, kita terundang atas dasar kerabat
          Sekarang karena uang yang diharap
          Dengan pongah berpesta ria
          Berharap tetamu gunungkan hadiah
Aku rindu pada dulu
Pada waktu ada tulus
Aku rindu pada dulu itu
Demi makanan kita tiada beradu
          Aku benci pesta kini
          Sebab kupunya harga diri
          Di rumah masih berlimpah nasi
          Yang terutama adalah belas kasih


















Lexy Sual, Papaku

Lelaki tua, tak pernah lelah
Hari-harimu disarat kerja bertumpuk
Langkahmu kian membungkuk
Tapi asamu terlampau keras untuk patah
          Kau bangun terburu-buru
          Tak pulas kerna rindu pada ladang yang sedang kau garap
          Pulang rumah selalu malam
          Semangatmu tak kunjung luruh
Lelaki tua, yang kupanggil papa
Menjadi anakmu selalu kubangga
Teladanmu adalah warisan
Lebih berharga dari mutiara
          Beratus pohon nyiur telah kau tanam
          Beratus sudah kau tanam cengkeh
          Buah karyamu membuat panjang namaku
          “Iswan Sual, S.S. Ohai! Ini mahakaryamu papa”
Lelaki tua yang mendamping mama
Laksana langit kau setia
Indahkan perintah ilahi
Kau buat kami punya nyali
          Dalam puisi kau terkenang abadi
          Biarlah terus dilirik-lirik rawi
          Kau panglimaku dalam setiap yuda
          Pada kami tak kau membisik durjana


















Ungkapan Cinta Bulan Purnama

Rembulan tunjukkan senyum lebar
Di kala malam makin dewasa
Gemintang tertawa mungil
Langit ikut-ikutan memberi dukungan
          “Sayang, datangi aku malam ini ya.
          Sendirian aku di rumah
          Aku rindu di pangku
          Rindu dendam direngkuh.”
Pesan singkat itu kubaca berulang-ulang
Dalam permenungan
Dalam pertimbangan
Terkandung makna yang mendalam
          “Aku baru datang
          Banyak urusan yang harus diselesaikan
          Tapi, jujur aku kangen
          Wajahmu selalu membayang.”
Ungkapan hati jarang tersingkap
Terkatup rapat
Hanya mewujud dalam tindak
Tapi, aku sayang sangat
          Apa saja yang aku punya
          Kubri tanpa berharap balas
          Karena aku memberi dari kekurangan
          Aku memberi semua tanpa ada sisa


















Jalan yang Kupilih

Aku bukanlah yang kalah
hanya karena tak bergelimang harta
tiada populer
dan tidak termasuk golongan orang pinter
          Janji pada diri t’lah terpatri
          biarpun godaan dunia mengajak
          takkan mampu meretas
          prinsip-prinsipku aku akan tetap begini
Aku bukanlah yang salah
Cuma karena tak datang berdua
Tanpa pembela
Dan tak ada yang menopang
          Tampak gila tidak berarti sinting
          Dunia ini gampang dibujuk angin
          Dininabobokan malam
          Sampai-sampai memangsa saudara sendiri
Aku hanyalah insan
Dengan langkah pasti
Mencari jalan alternatif
Terpisah dari jalan kesesatan
          Meski dihalang duri
          Dengan tekad bulat akan kutelusuri
          Walau tanpa seorang menemani
          Aku yakin dengan jalan yang kupilih


















Zaman Edan

Mengurung diri dalam sangkar kayu
Mata berat bekerja selami pikiran pujangga
Hujan barulah pergi setelah berkunjung lama
Banyaklah kini yang berlindung di bawah selimut
          Sampai waktu ini, pakaian basah belum kuganti
          Kerna beban pikir perlu dituang
          Pada kertas putih
          Tak bisa ditunda hingga nanti
Roda dua berlari dengan pantat berbunyi melengking
Roda empat bagai diskotik lalu lalang tulikan kuping
Sungguh mereka tak punya empati
Kepada yang sekarat pun mereka tak peduli
          Zaman sekarang hidup tak perlu suci
          Asa ada duit semua bisa dibeli
          Bila beda siap-siaplah ditendang
          Bila lain rasa siaplah kau dicincang
Tak ada tempat bagi yang suci
“Pergilah ditemani sepi.”
Kita tak lebih baik dari hewan
Yang saling memakan
          Mungkin, baiknya aku pergi
          Menuju dunia di lain sisi
          Di sana semua dimulai dari awal
          Hari berikutnya ialah anugerah


















Jelang Peringatan Detik Lahir

Malam telah di ujungnya, pagi telah siap geser kakaknya
Sedangkan aku hanya jadi saksi,
Menanti datangnya detik-detik hari lahirku sendiri
          Nah, kini umurku telah dua sembilan
          Tahun terakhirku di golongan duapuluhan
          Tak banyak ku sematkan harapan
          T’lah banyak sudah pemberian Tuhan
Dalam kesendirian ini aku tercenung
Malu pada embun yang bertengger pada ujung atap
Seolah dia bertanya tentang komitmen
Mengingatkan ketidakabadian
          Ya, aku sadar
          Di sini kita hanya singgah sebentar
          Mengapa pula kita menumpuk banyak
          Sembari kita biarkan banyak yang lapar
Tuhan, kepadaMu kubrikan syukur
Engkau tetap jaga walau sering tekebur
kepadaMu yang tinggi luhur
kiranya rahmatu di hati bertambah subur
Seperti Mentari

Seperti mentari pagi mengirim seberkas cahaya
Mengusir dingin, membuat senyum
Membekas di relung hari cerah
Begitulah rasa hatiku kini
          Sepeda motor setengah berlari
          Menuju dunia pengeraman bintang gemintang
          Mendengar celoteh riang
          Menyaksikan senyuman polos
Aku bahagia hari ini
Anak-anak kecil berkerumun menyalami
“Selamat pagi, sir.”
Kuncup hatiku mengembang mekar
          Nyaris tak terasa, aku bukan lagi remaja
          Sedang menuju proses penetasan
          Sebagai lelaki dewasa
          Berharap kian perkasa hadapi kenyataan dunia
Aku bersyukur punya orangtua
Kakak beradik pun ada
Bagaimana dengan mereka?
Mereka yang tiap hari dilempari dengan derita?
          Ikhlas aku untuk terus berbagi
          Berbagi yang kumiliki
          Demi sendikit menghilangkah haus
          Mengisi perut yang lapar semenjak kemarin



















Guru Mengeluh

Kelam pekat
Membatu
Mengeras
Menjadi pahit
          Muram nelangsah
          Sanubari membuncah
          Duri melilit kalbu
          Laiknya ditelantar ibu
Kelam pekat
Membatu
Mengeras
Menjadi pahit
          Mampus digilas keadaan
          Pupus karna dibiarkan
          Tak berharga
          Sia-sia berjuang untuk mereka
Kelam pekat
Membatu
Mengeras
Menjadi pahit
          Tiap hari menelan empedu
          Hanya ada sendu
          Berisik bersisik busuk
          Tak ada nyanyian merdu


















Pertanyaan Soal Hidup

Mengapa terus hidup, bila tujuan redup
Hilang oleh berlaksa tuntut
Pada keadaan mesti menurut
          Dalam banyak soal kita bertaut
          Hanyut kehilangan sauh
          Hanyut karna bujukan rayu
          Segala telah lumpuh
Mengapa terus hidup, bila ilmu untuk membunuh
Bijak sudah luruh
Dibawa angin puyuh
          Dalam buta kita patuh
          Dicengkram nafsu pun mau
          Dicengkram erat angkuh
          Segala telah jatuh
Hidup itu perlu, bila hargai waktu
Hidup itu harus, bila itu untuk aku dan kamu
Bila harus berebut, lebih baik ditemani maut
Bila harus berebut baiklah mati datang menjemput

         
Keruh Kehidupan

Laksana kotoran dan sampah busuk
Kita dipandang
Tak berharga sama sekali
Tak sedikit pun berarti
          Teruna kita semakin picik
          Terus membawa tradisi sempit
          Menjadi pelacur kehidupan
          Seakan pilihan hidup satu-satunya itu
Semua telah bermetamorfosis
Merasuk merusak dengan virus
Kita benarkan kesalahan
Kita kelirukan kebenaran
          Segalanya telah sungsang
          Seolah semuanya mesti diselesaikan dengan perang
          Kepada yang berpunya kita menjilat
          Bergerombol kita berarak
          Padahal, mereka banyak mencabut hak
          Padahal, di mulut kita mereka berak
Mati-matian kita berpeluh
Tak satupun mereka menjadi luluh
Tapi, kita dianggap musuh
Malahan tak segan kan mereka bunuh




















Wajah Tak Dikenal

Kami adalah bahan tertawaan
Kami cuma pelawak di atas pentas
Mereka anggap pesan moral telah mereka bayar lunas
Kami dianggap mainan untuk dibuang
          Kami adalah rongsokan
          Kami dikira tak berguna lagi
          Karena bagi mereka pada kami tak ada fungsi
          Kami dianggap menjajakan makanan basi
Kami adalah sampah
Merusak pemandangan kota
Kota-kota mapan yang kenyang oleh kebohongan kapitalisme
Kami dianggap layak dibakar dan dimusnahkan
          Kami adalah duri dalam daging
          Kami dianggap pembawa sial
          Mereka menganggap kami berkhayal
          Kami dikira membawa ajaran setan
Kami melawan arus
Memiliki hasrat kerontangkan samudra
Mengisap sumsum tulang
Kami disangka drakula
          Mereka adalah badut
          Mereka adalah sampah dan rongsokan
          Mereka adalah duri dan drakula
          Mereka tak kenal wajah sendiri di depan cermin


















Ia Enggan Tunjukkan Muka

Berbondong orang mencari tuhan
Namun tak mereka temukan
Pikir mereka ujudNya manusia
Manusia seperti kita
          Mereka berkata, “Mari bangun rumah untuk tuhan.
          Lengkap dengan perabotan dari negeri jiran
          Lokasinya menghadap lautan
          Agar dia boleh puas berenang.”
Di rumah mewah itu tuhan tak datang
Sebab, itu dibangun atas dasar kesombongan
Atas dasar menonjolkan diri
Atas dasar untuk menandingi
          Tuhan malu nampakkan muka
          Malu memasang wajah manusia
          Karna manusia menghina ciptaanNya
          Manusia mengolesi dengan tahi ciptaanNya
Tuhan enggan tunjukkan wajah
Wajah-wajah buatannya ialah wajah serakah
Wajah yang suka tontonkan harta
Tak sadar mereka hanyalah debu tanah
          Tuhan urung singkapkan muka
          Karena ciptaanNya suka bermuka dua
          ciptaanNya gemar mencela sesama
          tak insaf mereka ada hanya sementara


















Menyogok Tuhan

Dengan uang ingin mereka menyogok tuhan
S’bab pikir mereka tuhan tamak
Tuhan itu curang, tuhan itu bejat
Tuhan itu mabuk harta, tuhan itu penjahat
          Dengan uang ingin mereka menyogok tuhan
          S’bab kira mereka dia itu penghianat
          Dia itu penipu, dia itu pencuri
          Dia itu pemain perempuan, dia itu suka minum-minum
Dengan uang ingin mereka menyogok tuhan
S’bab mereka anggap pada dia ada seleweng
Ada main mata, ada korupsi
Ada beli ijasah, ada kehendak tunjukkan gengsi
          Dengan pujian ingin mereka menyogok tuhan
          Karena mereka pikir dia tak melihat hati
          Tak mengawasi tindak, tidak rasakan nurani
          Tak kenal jalan pikiran, tak tahu segala niat
Dengan pujian ingin mereka menyogok tuhan
Karna sangka mereka tuhan tuli
Tuhan buta, tuhan mati rasa
Tuhan tak bernalar, tuhan tak punya penciuman
          Dengan ibadah ingin mereka menyogok tuhan
          Dengan kerja ingin mereka menyogok tuhan
          Mereka sangka tuhan gila hormat
          Mereka sangka tuhan kekurangan


















Menara Babel

Sebelum menjemput ayah
Kusempatkan tangan menyulam kata
Mengisi kekosongan sehabis makan
Memperhatikan rombongan wanita yang kebetulan lewat
          Ibu berdiri di depan pintu
          Bercakap dengan tetangga tentang air yang macet
          Uap air hujan bangkit dari tanah
          Menambah semarak peristirahatanku
Wanita bergerombol itu baru pulang dari gereja
Sediakan makan minum untuk pekerja bangun gereja
Hampir selesai memang
Didirikan atas dasar kepongahan
Ingin menunjukkan,
“Kami juga bisa bangun greja!”
          Hahahahahaha
          Hehehehehehe
          Masa iya? Bagaimana bisa?
Dari balik awan pekat mentari berpaling muka
Dia pun tersenyum sinis, katanya:
“Manusia bodoh! Tuhan tahu sandiwara.”
Gemawan mengangguk setuju,
“Mereka bukan membangun rumah tuhan.
Mereka nampak mendirikan menara babel.”
          Ha? Bukankah itu tuduhan yang terlalu?
          Bila tak percaya, dengarkan mereka bercakap
          Sendengkan telinga pada apa yang terucap
          Tak ada doa yang kau temui
          Hanya deretan sumpah serapah
          Hanya seloroh-seloroh cabul
          Hanya alasan-alasan kehendak daging
          Hanya tentang kawin
Rumah tuhan mestinya berbatu dasar madah suci
Berhias gita-gita surgawi
Batu-batunya termaktub iman
Dindingnya berlukiskan kekudusan
          Rumah itu rumah kesombongan
          Bersemayam dupa-dupa untuk firaun
          Beralaskan ikhtiar-ikhtiar Herodes
          Terpercik banyak darah para martir
Tuhan tidak sudi pada buatan tangan tercemar
Tangan yang berlumur serakah
Tangan yang suka merebut kuasa
Merebut domba-domba untuk dijagal
Ditawan dalam rumah yang pecah belah
Menyesatkan mereka di padang tak berumput
Menjauhkan mereka dari sang gembala
          Rumah itu bagi mereka adalah ladang
          Ladang tempat menumpuk kantong
          Rumah itu tempat mencuci otak
          Tempat itu tempat menyebar luas fitnah
          Rumah itu kini tempat mengobar api cemburu
          Untuk merangas mereka yang beda dengan kita
          Untuk mencipta ngarai
          Padahal senantiasa mengaku membawa damai
Aku heran, mereka membawa berita burung
Aku kaget, mereka tak punya malu
Pendeta-pendeta hidup seperti selebriti
Mengaku pelayan namun lebih suka dilayani
Mereka menyihir jemaat dengan khotbah
Khotbah yang menggugah saku-saku
Khotbah untuk menakut-nakuti
Demi penuhnya sampul dan pundi-pundi
          Aku heran!
          Mereka lebih mesra dengan yang kaya
          Khotbah mereka berisi sanjungan berlebih
          Ternyata, mereka mengincar gengsi
          Mereka mengejar ketenaran diri
          Kepada yang papah mereka enggan melawat
          Kepada fakir mereka enggan berlama
Kini aku pun sadar
Mengapa lampunya tak memendar
Kini aku tahu
Kenapa rumah tak penuh seperti dulu
Kini aku pun ingat
Kenapa tuhan mengacaukan bahasa











Membunuh Waktu

Debu beterbangan terhirup paru
Menutup saluran kesadaran
Indra macet beraktifitas
Penglihatan berjalan terengah-engah
          Kadar pahit memberangus lambung
          Kekeringan melanda goa
          Pusat kesadaran merintih menyundul
          Kantong tubuh berkeluh kesah
Tak ada juang pada tunas muda
Cepat menyerah saat terik mendera
Aku hanya bisa pasrah
Percuma memaksa hamburkan teori
          Tubuh berteriak nelangsah
          Matahari kini bertengger di ubun-ubun
          Udara yang masuk keluar berisi kosong
          Mata air masih jauh di sana
Cepatlah waktu bergeser pergi
Aku dan tunas muda hampir mati
Datanglah petang balut kami dengan gaun halus tipis
Tuntun ke kolam renang parah peri
          Biarlah kukecap hidangan
          Biarlah ku teguk minuman
          Lambungku kosong melompong
          Akankah aku tewas dalam penganiyaan waktu


















Penyair Kecil

Mulutmu belumlah pandai bermain kata
Yang keluar hanya ayat-ayat biasa
Menampilkan nyata apa adanya
Memamerkan untaian sederhana
          Makna terbuka
          Tak mengganjal pada apa pun juga
          S’mua gampang terpaham
          Laksana kolam oleh bebek enteng diselam
Teruslah menari dengan pena
Usah pedulikan mereka meracau
Goreslah biar kertas tembus berbolong
Tuangkan pikiran yang lama meringkuk di kolong
          Tuliskan! Bacakan!
          Buat mereka terperangah
          Tunjukkan yang kecil juga lincah
Engkaulah pewaris
Pujangga di masa sesudah
Tulis, tulislah…
Setiap jaman bawa yang beda
          Yang penting adalah menggugah
          Menggugah sanubari yang t’lah tuli
          Menggugah hati yang t’lah mati rasa
          Menggugah pikiran yang lama mengedap



















Remaja Masa Kini

Para remaja bergerombol bercampur dengan malam
Bersaing dengan waktu
Ingin kawin saat gelap datang merayu
Di atas kendaraan seperti kuda mereka berpacu
          Para  remaja penggemar film porno
Suka memojok turutkan niat
Ponsel adalah sumber belajar
Belajar peran di atas ranjang
Para remaja anak sekolahan
Hilang perawan adalah tuntutan jaman
Beberapa bulan kemudian menjadi single parent
Jadi tumbal dan korban pergaulan bebas tanpa tanggungjawab
          Para remaja kini suka menciplak
          Sembarang gamit, gemar berfoto genit
          Berpakaian sempit biar mata lelaki melirik
          Tapi, marah bila dicolek tanpa sematkan duit
          Aneh! Pelik!
Para remaja hendaknya kau berbalik
Tatap depan yang masih panjang
Toh, nanti juga kau rasakan
Jalani dulu yang ada skarang
          Usah berharap lekas dewasa
          Karna masa itu sebetulnya sarat sengsara
          Usah mendahului masa
          Berjalanlah di sampingnya
Para remaja, siapkan asa
Tajamkan benak, isilah otak
Nanti, punyamulah kencana
yang memendar di sana













Aku Tak Ingin Kawin

Aku tak ingin kawin, tak mau dimaki istri
Aku kuno
Aku jelek
Aku penyair
Tiap hari hanya berpikir
          Aku tak ingin kawin, tak mau dimaki istri
          Aku tidak romantis
          Aku tak pandai bilang I love you
          Aku penyair
          Tiap hari hanya berpikir
Aku tak ingin kawin, tak ingin dimaki istri
Yang ku tahu hanya puisi
Puisi kecil
Puisi tak laku dibeli
Aku penyair
Tiap hari hanya menyindir
          Aku tak ingin kawin, tak mau dimaki istri
          Jarang mandi
          Tidak sikat gigi
          Syahwat telah mati
          Aku penyair
          Tiap hari menyengir
Aku tak ingin kawin, tak mau dimaki istri
Aku banyak tidur
Menghayal
Tertawa sendiri
Aku penyair
Tiap hari suka menyihir
          Aku tak ingin kawin, tak mau dimaki istri
          Aku ingin sendiri
          Menderita sendiri
          Biarpun tak dihargai
          Aku penyair
          Tiap hari tanpa sisir
Aku tak ingin kawin, tak mau dimaki istri
Pada nurani aku berbakti
Pada pikir aku berdiri
Pada rohani mengiring
Aku penyair
Untuk itulah aku terlahir


Tentang Sekolah Kita

Sekolah kita ujian lagi
Para pelajar setres lagi
          Sekola kita ujian lagi
          Para guru curang lagi
Sekolah kita lulus lagi
Pengangguran tamba lagi
          Sekolah kita lulus lagi
          Lapangan kerja sedikit sekali
Sekolah kita lulus lagi
Biaya kuliah makin tinggi
          Biayabiaya naik tak berhenti
          Rakyatrakyat bakar diri
Rakyat terus menjerit
Pemerintah hilangkan hati
Sekolah kita ujian lagi
Para pelajar setres lagi
Apa terus saja begini?
Pak presiden malah minta naik gaji


Ikrar Yang Diingkar

Cahya bintang timur kian redup
Bumi nusantara sudah hampir gelap
Anak-anak kami dicap penghianat
Hanya kerna pelihara burung hantu
          Keturunan Gajamada asyik berkelakar
          Menuduh pulau-pulau ingkar
          Kami Anak-anak Toar
Lupakah mereka pada ikrar
Yang tersebut pada 1928?
Kalau kepada warna-warni kita gemar
Mengapa hanya satu warna yang pendar?
          Katanya negeri ini paham ujar empu Tantular
          Di singgasana menggeliat persis seperti ular
          Mendesis liar
Mayapada ini adalah sangkar
Membunuh menguni di depan fajar
Enggan lagi mendengar
Setia di antara pula telah memudar

Sendirian dalam Hiruk Pikuk              

Sendirian dalam hiruk pikuk
Setetes embun di rangas
Beringas surya
Embun tak sisakan jelaga
          Sabda-sabda indah
          Di bajak
          Firman-firman
          Dikerat
Aku dibuang dalam sepi
Laiknya mengidap kusta
          Bintang ikut-ikutan
          Ikut mengalir terbujuk
          Oleh arus yang lengang
          Menuju laut yang mengimingi dengan pesona
Dulu matahari dan bintang
Menjadi panutan
Kini menahasan cahaya
Menyeleweng dengan kegelapan
          Aku dilempari tawa sinis
          Pada wajah tahi-tahi turut mengejek
          Ku tanya, “Mengapa kalian menutup mata?
          Giliran kau jadi korban,
          Lalu nanti kau menuntun keadilan?




















Di Persimpangan Jalan

“Pendidikan karakter”
Begitu para pemimpin menggelegar
Dalam pidato-pidato terhormat
Hingga rakyat mengangguk-anggguk
          Pesan sakral dikunya pelan-pelan
          Mereka beroleh sebuah pencerahan
          Untuk didongengkan kepada anak cucu
          Sebagai pengantar tidur
Bocah-bocah polos itu
Tersentuh
Dalam mimpi mereka berkata,
“Tentu, tentu dengan itu kita utuh”
          Namun, tak dinyana
          Lain mimpi lain nyata
          Para yang di depan itu
          Telanjang menari tiada malu
Malah mereka mengajakku
Aku menjauh
Tapi disusul
Mereka berteriak, “Kejar! Kejar! Itu musuh!”
          Seandainya dari dulu kutahu
          Pesan-pesan itu tak kusentuh
          Kini aku berdiri di persimpangan jalan
          Tak tahu, ke kiri atau ke kanan


















Percik Air

Percik demi percik
Menyentuh lembut dedaunan
Menyinggung pucuk bebunga di taman
Anak anjing bersemayam di bawah tempat tidur
Dia gemetar didera angin dingin
Yang menggoda bulu roma
          Jangkrik berderit riang
          Sisa-sisa air jatuh dari atap
          Mengikuti aliran menuju anak sungai
          Bocah-bocah berpayung lwat
          Menjajakan jualan
          “Kukis tolu! Kukis panada!” senandungnya
Aku hanya berdiri terharu
Mengintip di balik daun jendela
Bocah-bocah itu tertawa
Dari pinggang hingga kaki terkena tempias
          Hingga kini percik-percik air
          Betah mencolek bumi
          Induk ayam dan anaknya berciap-ciap
          Resah kerna hari kian sore
          Saat cacing telah jauh menghujam
          Ke dalam perut mayapada
Percik air, terima kasih
Kerna kau mengantar sejuk
Menghembuskan kelembutan
Melukis kesan yang dalam
Membuai aku sampai lelap menjelang petang















Aku Merindukanmu

Aku merindukanmu
Saat langit mengirim dayang-dayang air
Dayang air nan ramping
Ingatkanku dua sudut bibirmu
          Lengkung bibirmu
          Nampak serasi dengan mata binarmu
          Bila berbunyi bibirmu,
          Kuingat kerikil yang tercemplung ke dalam kolam
Dan,
Matamu
Menawarkan sejuta kebahagiaan
Di hari depan
Di dalam malam yang tak pernah lengang
          Duhai,
          Kekasihku
          Mencintaimu adalah anugerah
          Engkah adalah hadiah terindah
          Hadiah yang selalu kudamba

Lindap

Arah perahu kian lindap
Tertutup pekat gemawan
Terasa percuma segala ilmu
Di sini dia jenuh
          Tentu mereka bingung
          Melihat dia yang snantiasa tercenung
          Walau dihibur pujian menggunung
          Dia duduk seharian menanti embun
Kata mereka
Dulu dia eanak yang cerdas
Tumpuan keluarga
Tulang punggung bangsa
          Kini dia nampak pasrah
          “Dunia ini tak mau berubah,” katanya
          Dia mengaku sebagai kembara
          Tak mau berurusan dengan kita
Rupanya dia kecewa pada murka
Pada angkara
Pada penguasa yang banyak bicara
Penguasa yang tak paham suara-suara
          Wajahnya pun kian lindap
          Ditelan oleh samar-samar
          Terbenam dalam kuburan waktu
          Ditelan suasana yang tak hendak beranjak



















Renjana

Pucuk daun nan lembut
Kurabai perlahan
Merebut pandang
Mengelus renjana
          Kuterima sekuntum
          Kuhirup dalamdalam
          Pada kelopak
          Ada ditulis, “Aku cinta padamu”
Kupetik sekuntum
Di taman rimbun
Kembali kukirim
Pesan serupa
          “Duhai, gadisku
          Aku juga mencintaimu
          Engkau kencana
          Engkau permata
Pagi itu dalam taman
Kita berdekatan
Dalam dunia maya, terasa lebih nyata
Di mayapada hanya ada kita
          Pucuk daun nan lembut
          Kurabai perlahan
          Merebut pandang
          Mengelus renjana


















Kecurangan UN

Benak menerawang jauh
Di tengah laut jatuhkan sauh
Yang dia lihat
Hanya pulau tiada kehidupan
          Namun bagi mereka
          Itu adalah kejayaan
          Mata yang kabur
          Sesatkan langkah
Anak-anak kirim sanjungan
Pada guru yang curang
Dia lihat
Kejatuhan di ujung jalan
          Mereka terlena
          Mereka lupa ada hukum karma
          Yang dituju arah kebalikan
          Menuju kegelapan
Anak-anak jadi bajingan
Anggap mereka itu keberhasilan
Dia lihat
Kebusukan dan kelapukan
          Mesti pada siapa
          Dia berkata?
          Semua tak percaya
          Semua menutup mata


















Potret Hidup Kita

Acuh tak acuh
Kaku sekeras kayu
Generasi kini
Pada brikut kan mereka wariskan
          Para panutan
          Berpura rabun
          Generasi kini
          Menelan racu ‘tuk m’reka dan anak cucu
Para panutan
Jingkrak berpacu
Demi family, pada generasi, tak peduli
Hidup itu perjuangan, kata mereka
          Layu dan sendu
          Lagu tak lagi merdu
          Generasi klak kan saling bunuh
Batu yang luruh
Pikir mereka, mereka membangun
Keruntuhan, itu yang diciptakan
Bila sudah waktu, mereka pun tahu
Luntur

Luntur, lunturlah warna
Kepada babi-babi itu permata
Dengan apakah
Itu berharga
          Sang pemberi tak enak
          Dilihat
          Kerna pikirannya t’lah rusak
          Hikmat tak dibawa
Kita adalahh sekarat
Di tangan dokter-dokter keparat
Laknat!
Hingga akhirat
          Masa depan diharap tak
          Percuma!
          Mereka menang telak
          Yang menang: si Jahat
Kontras!
Tak seperti cerita-cerita epos
Tiada akhir bahagia
Yang lemah selalu kalah
          Kecewa jangan!
          Upah kita
          Bukan dari dunia
          Di surge kelak
Mayapada: sementara
Berharap banyak jangan
Kita anak terang
Jauhlah kita dari gelap
          Warna luntur
          Oh luntur
          Babi mendengkur
          Takkalah guru-guru mundur
Apa dikata
Tiap hari nasi membubur
Sekali-kali saja ada mujur
Arti pun tak ada
          Luntur o luntur
          Babi mendengkur
          Terlanjur
          Sampai kaki membujur
Dengan apa
Lagi kan bersih
Kain-kain koyak moyak
Sia-sia ditangisi
          Sesal kita kini
          Apatah guna
          Dilanda sunyi
          Tatkala dibrondong gundah

















Kusalah

Kira ku kan kau berubah
Tatkala dengar terusterangku
Tentang masa lajang
Tak bertepi, tiada berujung
Menikah atau tidak
Bukan soal
Asal menyinta
Selalu bersama
Benar O benar
Ternyata
Rasamu taklah isapan jempol
Dari palung laut terdalam
Mengepul dan menonjol
Laik lampu urung padam
          Berarti kau cinta
          Bebas canda
          Kau temanku berkelana
          Pun di gurun panas
          Kau lepas dahaga
          Demi dia
          Yang sama rela pula
Syukur pada Maha
Yang kirimkan anugerah
Menepis prasangka
Meniada lara duka

















Bagaimana
Bagaimana bisa ubah dunia
Buang sampah
Pada tempatnya
Taklah tahu
          Bagaimana bisa ubah dunia
          Atur bicara
          Tata suara
          Taklah tahu
Bagaimana bisa ubah dunia
Nama desa
Tempat lahir
Taklah ia tahu
          Bagaimana bisa ubah dunia
          Laku tidak
          Pikir-rasa
          Taklah patut
Bagaimana ubah dunia?
Bagaimana?
Beri jawab!
Tentulah kau tahu
Tondei, 8 Mei 2012
Gembala

Tujuan membuyar
Saat-saat membiar
Guna apa bersama berlayar
Bisa sesat kita diseruput angin pusar
          Bintang-bintang
          Bergayut pada tembok
          Tembok langit
          Entah kapan menerus tahan
Pupus harap
Lapuk oleh janji
Janji kosong mereka
Yang mengaku membawa panji
          Iswan, menyerahlah jangan
          Meski terus dihantam
          Pukulan limba mematikan
          Hanya, tetaplah memekak walau dalam gumam
Hanya itu mampumu
Tak using dicabik waktu
Iswan, menyimpanglah jangan
Ada melihat di balik gemawan
          Ukirlah kaligrafi indah
          Pada coret-coretan tiada makna
          Iswan, relalah mereka berlomba
          Jadilah kau gembala satunya


















Pohon Mangga di Depan Sekolah

Rimbun, menahn hujan turun
Mereda sengat matari
Menyimpan sejuk hingga menjelang senja
Kau setetes sejuk Eden
          Bertengger burung-burung
          Ulat-ulat daun adalah santapan
          Di kala hutan enggan menyambut
          Di kala belantara menolak bersahabat
Gondrong lebat bergelimang
Jauh basah menyongsong
Pada sepeda motor
Terparkir membisu kerna molor
          Aku suka pada kesuburan
          Dedaunmu yang memamer hijauan
          Bukan pada buahan
          M’lainkan pada teduh yang kau tawarkan
Jangalah mau
Kau dirayu
Oleh moleknya
Mata pisau besar
          Janganlah
          Ditipu
          Oleh tuduhan
          Bahwa kau menampung ulat ular nakal
          Bahwa kau himpunkan burung-burung liar

















Mendengar Keheningan

Dikira putih padahal hitam
Dikira suci kendat kelam
Dikira gelap kendati terang
Dikira pekat padahal pendar
          Dianggap lurus kendati bengkok
          Dianggap tulus padahal kedok
          Dianggap mulus kendati jorok
          Dianggap kudus kendati borok
Dunia buta lihat  warna
Semua dibuat sama
Kita lupa pada beda
Hanya demi nafsu belaka
          Percuma agama
          Percuma hikmat
          Sia-sia nilai
          Sia-sia pandai
Manusia takhluk oleh rayuan
Terlena karna buaian
Seandainya manusia melihat dengan hati
Banyak takkan tersakiti
Seandainya kita mendengar keheningan
Taklah kita menjadi korban




















Amish Bisa

Masih percayakah kita
Pada perkasa leluhur
Warisan-warisan baka
Dan titik-titik tujunya
          Atau telah kalah
          Oleh dikte-dikte adidaya
          Yang dikemas aneka ornamen
          Berkilau temporer
Begitu tergesa
Lupa rupa
Musnah dikunyah
Modernitas
          Itulah wajahmu kini
          Dibawa arus menuju laut lepas
          Diombang- ambing tiada batas
          Dimanakah kita ini?
Mengapa Amish bisa
Kuat tahan dibujuk mewah
Puas dalam bersahaja
Pantang hanyut bersama dunia
          Mengapa Amish bisa
          Membuang nafsu serigala
          Melempar jauh kencana
          Tak menyimpan yang dimakan ngengat


















Orang Asing

Mengunyah daun pepaya
Di pagi kelam yang datang
Asap dapur menusuk mata
Kala ku dikelilingi luka
          Apa ini rasa sang nelayan
          Larut dalam lautan ragu
          Kecewa pada gejala
          Menyuguh ketidakpastian
Apa ini rasa buruh kehilangan asa
Segala berubah hitam
Runyam berkuasa
Getir turut berteman
          Di mana lincahmu dulu
          Urat-urat kuat
          Tulang-tulang gagah
          Api yang senantiasa menyulut
Biarlah arus terus bergerak
Kayu, batu, pasir hanyut
Namun, kita tetap
Berkelana ke arah yang dituju
          Pahit di sebelahnya manis
          Kabut di baliknya langit bersih
          Gelap di sisinya terang
          Sungai di tepinya daratan
Jangan kira tak ada putih
Karna hitam menyelimuti
Jangan kau lupa ada siang
Kala malam terasa panjang
          Jangan anggap semua musuh
          Saat banyak lukiskan senyum palsu
          Kau terus mengeluh
          Sedang mereka tak acuh
Dalam satu bumi kita berbagi
Sama-sama dinaungi matari
Menghirup udara secara berganti
Pemberian ilahi
          Anggap kau orang asing
          Di negeri lain bahasanya
          Kebiasaan kau pelajari
          Hanya pada baik kau lantunkan madah
Ya, kau memang asing
Hilang di padang pasir kebiadaban
Mereka sebut itu peradaban
Dibaptis dengan nama kemajuan
          Sepeda mesti terus dikayu
          Meski jalanan berlumur bebatu
          Tanjakkan teruslah didaki
          Walau meraih puncak belumlah pasti
















Mengintip

Hatiku membunca
Takkala disini
Kau tiada
Lengang, sepi
          Kirimi aku pesan
          Bila aku juga
          Kaurindukan
          O Della
Telah kubujuk langit
Kutitipi pula bunga tulip
diselipi rindu
bergelimang syahdu
Kirimi aku pesan
          Bila aku juga
          Kaurindukan
          O Della




Aku Menanti

Marilah kita bercengkrama
Disaksikan bulan
Larut dalam alunan
Dimanja mahligai angkasa
Mengusir harubiru
Merobek gundahgulana
          O ratuku
          Hadirmu kutunggu
          Kutunggu selalu
Sepi jadi teman
Langit jadi saksi
Kirimlah kabar di sini
Aku menanti
          O ratuku
          Hadirmu kutunggu
          Kutunggu selalu




Lunturnya Institusi Pernikahan

Lembar demi lembar hari
Kubolakbalikan
Gambar yang kutemui
Adalah potret-potret kegagalan
          Hanya satu-satu yang nampak
          Tiada bercacat
          Luarnya sempurna
          Penuh borok di intinya
Warna-warna pudar
Kala waktu kian keriput
Lanskap-lanskap ternama
Rapuh terhantam ombak laut
          Gunung tak lagi memuji rembulan
          Diam-diam ingin ditusuknya
          Ratu malam sembunyi di balik awan
          Tak sudih membagi cahya
Janji lapuk oleh sengat
Matari dan guyur kaki-kaki langit
Percuma saksi-saksi
Mereka ikut gila bersama jagat
          Doa hanya bunga nan layu
          Tanpa makna lagi
          Khotbah tinggal wewangi
          Yang luntur ditiup angin puyuh


















Rembulan

Engkau malam yang terang
Puputkan angin nun ringan
Mengayunku tenang
Bergayut manja pada rembulan
          Kau hentarku ke pinggir sendang
          Berenang dalam air lengang
          Riak-riak pun  bak paduan suara berkumandang
          Ikan-ikan naik menyemplung bergantian
Rembulan, kau pun terbit kala siang
Hatiku melompat riang
Saat kau pendarkan senyuman
Seperti merdu nada-nada berdentum
          Rembulan, mari sayang
          Tusuk aku dengan kencana kuningmu
          Rasuk aku dengan secebis sinarmu
Mendekatlah sayang
Mari kita terbang
Di angkasa kita mesra berjumpalitan
Hingga lelah mengejar angan
          Besok, masihkah kau bawa selendang
          Yang menjulur ke mata memandang
          Kekalkah pipi lesung
          Yang tiap hari mengundang kekaguman
Wahai, perempuan
Janganlah kau berhenti tunjukkan
Firdaus impian
Walau layar mega lebar membentang
          S’bab matilah aku
          Bila kau mau didekap kabut
          Pada rayunya kau takhluk
          Sedang aku tak jengah menunggumu
Elus aku yang tersimpan di dasar laut
Tengoklah aku yang menentang maut
Tak ingin aku menjadi pukuk
Api cinta sudah tersulut
          Rembulan O rembulan
          Perempuan O perempuan
          Kau penghias sepi
          Nelangsa terbirit pergi
Rembulan O rembulan
Perempuan O perempuan
Pangkulah aku dalam haribaan
Di selasar kau lantunkan nalam
          Berjanjilah rembulan O perempuan
          Kau menempel snantiasa pada jendela
          Meski hujan riuh menghujam
          Meski fajar berhenti pinjamkan cahya